Tidur Berselimut Sejarah

Surabaya, 27 Mei 2009. Saya sampai di lobby Hotel Majapahit setelah menempuh perjalanan yang krodit dan penuh polusi dari bandara Juanda, Surabaya. Nyaris tak ada perbedaan antara hotel ini dibandingkan hotel lain yang pernah saya datangi.

Tapi kemudian di belakang meja penerima tamu, terpampang sebuah foto besar karya Kurkdjian dengan judul Oranje Hotel, Soerabaja.

“Apa hubungan hotel ini dengan Hotel Oranje?” tanya saya ke salah satu mbak cantik yang ada di seberang meja keesokan harinya. Maka setelah ditambahi cerita dari berbagai sumber, beginilah ceritanya:

Bangunan hotel ini didirikan oleh “the famous” Sarkies bersaudara. Hotel ini kemudian diberi nama Oranje Hotel, karena pada saat awal berdirinya, warna dinding hotel ini adalah oranye yang pekat.

Tahun 1936, bagian depan hotel ditambahi dengan bangunan bergaya Art Deco, yang pada pembukaannya kemudian dihadiri oleh Charlie Chaplin, si komedian film bisu itu.

Saat Perang Dunia II berlangsung sekitar tahun 1942, Jepang menguasai Nusantara. Hotel ini pun tidak luput dari penguasaan Jepang dan berubah nama menjadi “Yamato Hoteru” atau Hotel Yamato, dan bertahan sampai 3,5 tahun berkuasanya Jepang.

Pada tahun 1945, tepatnya tanggal 19 September pukul 6 pagi, tentara Belanda yang datang kembali ke Surabaya bersama tentara sekutu, mengibarkan kembali bendera Merah-Putih-Biru di tiang bendera utama hotel ini. Pemuda Surabaya marah, karena merasa pengibaran bendera Belanda itu adalah sebuah penghinaan terhadap Prokalamasi Kemerdekaan Indonesia yang sebulan sebelumnya dikumandangkan di Jakarta oleh Soekarno-Hatta.

Lalu para pemuda yang marah itu berbondong-bondong mendatangi hotel dan merobek bagian biru bendera itu sehingga hanya tersisa dua warna, merah dan putih. Dalam insiden ini, Pluegman, pemimpin tentara Belanda waktu itu, tewas di lobby hotel ini setelah terlibat perkelahian melawan seorang pemuda Surabaya.

Kejadian ini kemudian seperti memicu kejadian yang lebih besar, yaitu terbunuhnya seorang komandan Inggris di bulan Oktober, yaitu Aubertin Walter Sothern Mallaby yang tewas dibom oleh pejuang Surabaya di dalam mobilnya.

Konon katanya, Mallaby juga menginap di hotel ini pada waktu itu. Kejadian besar selanjutnya tentu saja invansi besar-besaran pasukan Belanda yang diawali pada tanggal 10 November 1945.

Tahun 1946, hotel ini kembali dikuasai oleh Lucas, anggota keluarga Sarkies, dan diberi nama Hotel L.M.S (singkatan dari Lucas Martin Sarkies).

Pada tahun 1969, pemilik baru hotel ini memutuskan untuk memberi nama baru, yaitu Hotel Majapahit, diambil dari salah satu nama kerajaan besar yang pernah berdiri di Jawa Timur.

Setelah perbaikan selama dua tahun, hotel ini kemudian berubah nama menjadi Mandarin Oriental Hotel Majapahit, hotel mewah berbintang 5. Hotel ini pun semakin memantapkan posisinya sebagai hotel utama di kota Surabaya.

Pada akhirnya hotel ini kembali bernama Hotel Majapahit di tahun 2006.

Berhubung si mbak cantik harus segera pulang karena jam kerjanya sudah berakhir, cerita dilanjutkan oleh seorang laki-laki yang biasa saja. Hihi!

Bangunan hotel ini diklaim masih asli seperti saat berdirinya, kecuali warna catnya yang berubah putih cerah. Kalau saya perhatikan memang masih sama dengan yang terpampang di foto di meja penerima tamu tadi.

Waktu saya tanya, bangunan mana saja dari hotel ini yang punya nilai sejarah spesial, saya mendapat jawaban, “Room 33

Ada apa di kamar nomor 33? Kamar ini pernah ditempati oleh petugas Anglo Dutch Country Section pada waktu tentara Belanda kembali ke Surabaya.

Pada hari insiden perobekan bendera itu, Roeslan Abdulgani mendatangi kamar ini untuk meminta penjelasan mengenai pengibaran bendera Belanda. Kamar ini letaknya paling ujung, berkelas suites room.

Sementara dari beberapa informasi di internet, ada satu lagi kamar nomor 44 yang punya nilai sejarah istimewa. Kamar ini adalah kamar langganan anggota keluarga Sarkies kalau berkunjung ke Surabaya.

Nama Sarkies sendiri kemudian diabadikan sebagai salah satu ruangan di hotel ini sebagai Sarkies Seafood Restaurant. Sampai sekarang, belum ada lagi keturunan keluarga Sarkies yang berkunjung ke hotel ini.

“Ada hal-hal gaib, mas?” tanya saya memancing cerita yang lebih seru.

“Ndak ada mas” jawab mereka.

Tapi salah seorang dari petugas penerima tamu kemudian menambahkan, hal-hal seperti itu tergantung tamu masing-masing. Mereka juga menambahkan, di hotel ini tidak memiliki sejarah menyeramkan seperti pembantaian yang terjadi di sekitar Pasar Genteng yang terletak di dekat hotel ini.

“Penambahan bangunan hotel yang paling baru apa mas?” tanya saya lagi.

Mereka pun menunjuk lobby ini, padahal terakhir kali, katanya, lobby ini dibikin pada tahun 1936. Dijawab dengan anggukan kepala.

Semua bangunan dan ruangan adalah asli peninggalan bangunan lama. Terbersit rasa kagum di benak saya untuk manajemen hotel ini yang mampu dan mau mempertahankan nilai sejarah bangunan ini di tengah-tengah modernisasi kota Surabaya yang seperti tidak pernah berhenti bergeliat.

Cerita tentang hotel ini sungguh menyenangkan, walaupun akhirnya seperti menjadi dongeng sebelum tidur untuk saya karena beberapa jam kemudian.

Akhirnya saya memutuskan kembali ke kamar dan merebahkan diri di ranjang empuk dan nyaman. Malam ini saya memutuskan untuk tidur tanpa menggunakan selimut tebal yang disediakan hotel, karena sejak tiba di hotel ini, saya sudah tidur berselimut sejarah, yang semoga akan terus bertahan abadi.

*Hotel Majapahit, berlokasi di Jalan Tunjungan No. 65 Surabaya. Pada tahun 2006, oleh ASEAN Tourism Association diberi penghargaan sebagai "the 2006 Best ASEAN Cultural Preservation Effort"

Newsletter