Saat Komedi Dipentaskan di Pengadilan
Proses persidangan di ruang pengadilan ibarat sebuah panggung, banyak drama yang dipentaskan di sana. Tak jarang panggung yang seharusnya sakral memainkan pertunjukan komedi yang tidak lucu, tentu saja.
Pada suatu malam, di tahun 1968, kerusuhan terjadi di kota Chicago menjelang diadakannya konvensi Partai Demokrat. Kerusuhan terjadi pada saat ribuan orang turun ke jalan untuk menyampaikan sikap anti-perang. Tujuh orang yang dituduh sebagai aktor intelektual, diadili setahun kemudian. Begitulah kisah mula rangkaian peristiwa yang kemudian diangkat ke layar film berjudul The Trial of The Chicago 7.
Kisah ini benar-benar terjadi, termasuk pertunjukan komedi dari keberpihakan hakim yang berat sebelah. Tentu dengan beberapa dramatisasi di beberapa adegan.
Sebagian besar kisah dalam film ini bersetting adalah ruang pengadilan dimana negara berhadapan dengan para tujuh orang terdakwa. Ketujuh orang itu adalah Tom Hayden, David Dellinger, Abbie Hoffman, Jerry Rubin, John Froines, Lee Weiner dan Rennie Davis. Bobby Seale, ketua Black Panthers, yang sebelumnya termasuk juga dalam kasus ini akhirnya diproses melalui persidangan terpisah.
Apakah dengan banyak adegan dimainkan di ruang pengadilan membuat film ini membosankan? Ternyata tidak, sebab banyak drama yang terjadi di dalam ruang sidang, dan bayangkan hampir semua adegan di ruang sidang itu benar-benar terjadi dalam kisah yang sebenarnya. Itu yang semakin membuat saya betah bertahan selama dua jam menonton The Trial of The Chicago 7.
Film ini juga berhasil menjaga ritme cerita mengingat kisah sesungguhnya yang cukup panjang. Proses pengadilannya saja memakan waktu kurang lebih lima bulan, sementara kerusuhannya terjadi setahun sebelumnya. Pembuat film sukses menggambarkan beberapa kejadian penting meskipun durasinya jadi agak panjang, hampir dua jam penuh.
Serunya persidangan.
Penonton tidak perlu menjadi praktisi hukum untuk bisa mengikuti drama yang terjadi, walaupun ada beberapa istilah hukum acara yang berlaku di Amerika Serikat dipergunakan dalam film, misalnya voir dire. Tidak perlu juga membandingkan dengan kenyataan persidangan di Indonesia karena sistem hukum acaranya berbeda.
Namun cerita dalam film bisa mudah dimengerti karena juga terkait dengan kondisi penegakan hukum di Indonesia dimana kadang kita merasa putusan hakim tidak berpihak kepada keadilan. Hakim Julius Hoffman tergambar jelas sangat tidak netral dengan beberapa keputusannya yang memberatkan para terdakwa. Misalnya memberi kesempatan mantan Jaksa Agung, Ramsey Clark, untuk bersaksi tapi tidak dihadapan para juri karena dianggap menguntungkan para terdakwa.
Pada kenyataannya, Hakim Hoffman memang dikenal dengan citra yang buruk. Dia kasar, demikian hasil survei di antara pengacara di Chicago. Maka tak heran, para terdakwa Chicago Seven dan penasehat hukumnya seringkali meledek bahkan menghina sang pengadil di ruang sidang.
Isu yang ditampilkan dalam film ini juga sering kita temui di negara kita. Siapakah sebenarnya dalang dari suatu kerusuhan. Terakhir, saat heboh penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, kontroversi yang berkembang juga mirip, siapa sebenarnya yang memulai terjadinya kerusuhan.
Sejak awal, di film ini, kita diyakinkan bahwa polisilah yang sebenarnya memicu kerusuhan. Tindakan represif mereka terhadap aktivis dianggap menyulut amarah para demonstran. Tapi saya tidak akan masuk ke isu tersebut karena perdebatan mengenai polisi yang kasar dan demonstrasi yang rusuh seperti meributkan lebih dulu mana, ayam atau telur.
Wajib tonton.
FIlm ini menjadi salah satu yang paling banyak ditonton walaupun peluncuran perdananya baru dilakukan bulan Oktober 2020 di Netflix.
Selain penyajiannya yang sangat menarik, film ini juga diperkuat oleh nama-nama beken. Ada Eddie Redmayne, memerankan Tom Hayden, yang pernah menang Academy Award sebagai aktor terbaik di film The Theory of Everything.
Ada juga Sacha Baron Cohen, memerankan Abbey Hoffman, yang mungkin banyak dikenal karena karakter Borat Sagdiyev. Ada juga Michael Keaton, yang pernah memerankan Bruce Wayne di film Batman Returns.
Satu nama terakhir yang menarik perhatian adalah, Joseph Gordon-Levitt yang terkenal karena perannya di beberapa film, misalnya The Dark Knight Rises, Looper, dan Premium Rush. Di film The Trial of The Chicago 7, ia mendapat peran antagonis yang baik sebagai jaksa penuntut, Richard Schultz.
Situs IMDB memberi nilai 7,8 (dari 10). Jauh lebih baik daripada film-film terkenal seperti, Transformers: Dark Of The Moon (2011); Man Of Steel (2013); dan bahkan Wonder Woman 1984 (2020) yang cuma meraih skor 5,4.


Comments closed
Comments
sebelumnya aku kaget sama tampilan blognya mas
lebih ringan ya…
dan tagline-nya kok saya banget
hanya berpendapat tak suka debat 🙂
film ini emang bagus
terutama bagian pemancing kerusuhan
memang isu ini akan selalu sensitif
moga film ini ditonton oleh mereka yang berkepntingan dengan hukum
Hai mas, prinsip kita sama ya. Suka beropini, tapi kalau diajak debat, suka malas. Hehe.
Berdiskusi saya suka, tapi kalau berdebat, cuma untuk mempertahankan opininya masing-masing yang benar, sudahlah saya mundur saja.
Film ini bisa juga jadi pelajaran bagi para aktivis. Bagaimanapun itikad baik saat akan melakukan aksi demonstrasi, pengumpulan massa berpotensi disusupi oleh provokasi, baik itu dengan kata-kata atau tindakan. Kalau sampai rusuh, aktivis yang paling dirugikan. Pesan yang ingin disampaikan jadi kabur karena fokus perhatian orang jadi teralihkan kepada kerusuhannya. Apalagi kalau sampai merusak fasilitas umum, niat baik demonstrasi akan tercoreng bahkan dijauhi oleh masyarakat pengguna fasilitas tersebut.
Saya belum nonton filmnya kang Agung, cuma melihat ulasannya cukup menarik juga apalagi ini berdasarkan kisah nyata di Amerika.
Soal hakim ternyata tidak di Indonesia saja ya, ternyata di luar negeri juga sama suka berat sebelah apalagi jika hakimnya dapat sesuatu.
Tahun 1968 memang di Amerika masih banyak keputusan pengadilan yang tidak adil apalagi jika tersangkanya warga kulit hitam.
Halo mas Agus.
Filmnya cukup panjang durasinya, jadi harus disiapkan benar waktu luangnya. Kalau tidak, malah jadi serial nanti, nontonnya sambung-menyambung. Hehe.
Betul sekali mas, isu ras salah satu penentu netralitas hakim di Amerika waktu itu. Kalau di Indonesia, beda lagi. Masyarakat melihat, siapa yang kuat (bayar) maka dialah yang menang. Semoga tidak benar demikian.