Sekilas Abu Dhabi..
Beberapa hari kemarin, saya beruntung bisa berkunjung lagi ke Abu Dhabi, salah satu kota di Uni Emirat Arab.
Kunjungan kali ini bukanlah kunjungan yang mudah sebenarnya. Sebab pada bulan ini, Abu Dhabi sedang melewati musim panas. Sehari-hari, temperatur udara di Abu Dhabi berkisar antara 35-45 derajat celsius.
Tentu ini bukanlah cuaca yang bersahabat untuk saya, yang biasa hidup di wilayah tropis dengan temperatur antara 26-34 derajat celsius.
Kali ini saya tertarik untuk menulis tentang sekilas kehidupan sehari-hari di Abu Dhabi yang saya lihat dan dengar sendiri dari mereka yang menetap di kota ini atau dari adik saya, Gita Pritiningdyah, yang pernah menetap dan bekerja di sini.
Sebagaimana kota-kota di wilayah Arab, suasana Islami terasa banget di kota ini.
Penduduk lokal banyak yang berpakaian Islami, tapi tidak mengurangi kesan modis. Tidak pula terkesan bahwa mereka adalah orang-orang yang berpikir kolot dan fanatik dengan agamanya seperti beberapa orang yang saya temui di Jakarta.
Mereka santai berbelanja di mall, memesan makanan di restoran, berbaur dengan laki-laki Eropa yang bertatttoo atau perempuan Asia lain seperti Jepang, Cina dan Filipina dengan pakaian yang jauh berbeda dengan mereka.
Yang jauh berbeda dengan di Jakarta adalah kehidupan agama Islam di Abu Dhabi. Saya tidak melihat nuansa Islami mengurangi rasa nyaman dan aman bagi mereka yang beragama non-Islam.
Saya melihat banyak orang non-muslim tetap berpakaian “seadanya” mengingat cuaca panas yang membakar kota.
Saat saya keluar hotel sekitar pukul 01.00 dini hari, masih banyak perempuan berlalu lalang, entah itu karena mereka memang baru pulang kerja atau memang sedang menikmati suasana malam.
Menurut cerita yang saya dengar, terpasang lebih dari 3000 cctv di hampir setiap sudut kota sehingga pelaku kriminal akan dengan mudah dan cepat dikenali dan ditindak.
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Kasus perkosaan terhadap karyawan perempuan yang pulang kerja tengah malam sudah beberapa kali terjadi tanpa ada solusi yang tepat untuk para korban.
Kebetulan juga, kunjungan saya kali ini bertepatan dengan bulan Ramadhan. Waktu puasa di kota ini sedikit lebih panjang daripada di Indonesia.
Puasa dimulai sejak pukul 04.00 dan berakhir pada pukul 19.15 menjelang matahari terbenam.
Waktu Abu Dhabi adalah 3 jam lebih lambat daripada Jakarta. Jadi kalau dikonversi ke waktu Indonesia Bagian Barat, waktu puasa di Abu Dhabi dimulai sejak pukul 07.00 sampai 22.15 WIB.
Hal itu ditambah lagi dengan cuaca panas yang saya bilang di awal tulisan ini. Tentu lebih sulit untuk menjalankan ibadah puasa di sini.
Beberapa restoran memang mengubah jam operasinya selama bulan Ramadhan. Kebanyakan mereka mulai beroperasi mulai pukul 16.00 sampai 04.00 menjelang subuh nonstop.
Kalaupun ada yang tetap buka di siang hari, mereka mengubah dekorasi restoran sehingga tidak nampak mencolok dari jalan raya. Miriplah dengan beberapa restoran di Jakarta yang menutup jendela dengan tirai sehingga tidak mengganggu ibadah mereka yang memilih untuk berpuasa.
Mungkin memang ada aturan tentang jam operasi tempat makan umum selama bulan Ramadhan. Yang pasti saya belum mendengar kabar sweeping yang dilakukan oleh sekelompok orang di Abu Dhabi untuk merusak tempat makan yang masih berjualan di siang hari.
Hal lain yang berbeda antara Jakarta dan Abu Dhabi adalah tentang adzan.
Sementara di Jakarta suara adzan terdengar sangat nyaring dan dikumandangkan oleh setiap masjid tidak serempak, di Abu Dhabi, menurut Pak Firdaus, staf lokal di kantor promosi investasi Indonesia, adzan maghrib disiarkan secara sentral dan direlai secara bersamaan oleh masjid-masjid lain.
Itu pun dengan volume suara yang nyaris tidak terdengar. Jadi, tidak ada suara adzan yang bersahut-sahutan di kota ini seperti di Jakarta.
Masih menurut Pak Firdaus, itu bukan masalah bagi mereka yang beragama Islam. Berbeda dengan Jakarta, yang sampai sekarang masih diliputi kontroversi terkait penertiban volume suara adzan.
Bahkan, di kota ini, hari Lebaran bukanlah perayaan terbesar.
Menurut Pak Cahyo, pejabat kantor promosi investasi Indonesia di Abu Dhabi, perayaan terbesar di Abu Dhabi adalah National Day yang jatuh pada tanggal 2 Desember.
Saya sempat melihat kemeriahan hari nasional ini. Perayaan hari bergabungnya 7 kota, termasuk Abu Dhabi, menjadi negara Uni Emirat Arab ini jauh lebih meriah dari perayaan hari Lebaran atau perayaan hari agama Islam lainnya.
Abu Dhabi adalah kota yang sangat modern. Gedung-gedung megah berdiri di banyak tempat di kota ini, mirip Jakarta. Tapi, perbedaan mencolok tentu saja ketertiban dan penataannya.
Banyaknya bangunan dan gedung-gedung tinggi di Abu Dhabi tidak mengurangi ruang terbuka. Masih tersedia banyak taman kota, trotoar yang luas serta jalan raya yang lebar, membuat suasana kota tetap nyaman.
Kekurangannya buat saya tentu saja saat musim panas begini, kurangnya pohon perindang di tengah kota. Tapi ini gampang dimaklumi karena Abu Dhabi tentu bukan kota yang ramah bagi pepohonan karena debit air di sini tentu jauh lebih sedikit daripada di Indonesia.
Ada satu hal yang menarik perhatian saya di Abu Dhabi. Di salah satu sudut kota saya melihat himbauan untuk tidak memberikan sedekah kepada peminta-peminta.
Padahal selama di sana, saya tidak pernah melihat ada peminta-peminta di perempatan jalan, emperan toko, di jalur penyeberangan bawah tanah, atau di sekitar masjid seperti yang sering saya temui di Jakarta.
Menurut Pak Firdaus, anjuran pemerintah tentang banyak hal sangat mendapat perhatian dan dipatuhi oleh masyarakat kota. Menurut Pak Cahyo, hal ini disebabkan oleh ketatnya pengaturan pers dan kebebasan berpendapat di Abu Dhabi.
Terkait hal ini, Indonesia memang masih lebih unggul. Masyarakat Indonesia bebas berpendapat menentang kebijakan pemerintah, bahkan dengan kata-kata yang kurang pantas sekalipun.
Tapi, hal ini ternyata tidak mengurangi modernisasi dan kesejahteraan mayarakat Abu Dhabi. Sementara di Indonesia, kebebasan pers dan berpendapat yang nyaris absolut, belum meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Di luar itu, menurut pengamatan saya, kenapa himbauan pemerintah sangat dituruti oleh masyarakat Abu Dhabi adalah karena pemerintah telah berhasil memenuhi segala kebutuhan masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat tetap menjadi perhatian utama pemerintah Abu Dhabi.
Abu Dhabi juga kota yang berbahasa Inggris. Sekalipun bahasa utama mereka adalah bahasa Arab, bukan hal yang sulit untuk bertanya kepada setiap orang di kota ini karena mereka pada umumnya juga berbahasa Inggris.
Mengingat jumlah penduduk lokal yang tidak banyak, kota ini bergantung dari pekerja dari negara lain. Banyak pekerja supermarket, hotel, rumah tangga dan tempat-tempat lain berasal dari negara sekitar bahkan dari Filipina dan Indonesia, termasuk adik saya yang pernah bekerja di salah satu hotel di Abu Dhabi.
Mereka bekerja dengan baik tanpa banyak kendala seperti masalah pakaian misalnya, seperti yang saya dengar di negara lain. Tapi masih menurut Pak Cahyo, masih banyak cerita miring tentang pekerja dari Indonesia seperti banyaknya bayi yang lahir hasil hubungan gelap mereka dengan pekerja dari negara lain, atau ditangkapnya mereka karena berhubungan secara ilegal.
Hal lain yang khas adalah hampir di setiap sisi kota Abu Dhabi ditanami pohon buah kurma, yang memang cocok untuk tumbuh di daerah padaang pasir dan berbuah di musim panas.
Yang menarik adalah, siapa pun boleh memetik buah kurma yang tumbuh. Syaratnya adalah anda tidak merusak atau menyakiti pohonnya. Saya pun sempat diajak untuk memetik buah kurma yang pohonnya mudah ditemui dimana pun di kota ini.
Itulah sedikit yang saya tau tentang Abu Dhabi. Tentu ini bukan informasi yang harus dipercaya karena cuma dihasilkan dari kunjungan yang sangat singkat. Tapi, sedikit banyak, apa yang saya ceritakan di sini adalah apa yang saya lihat langsung selama berada di Abu Dhabi.
Tidak ada maksud juga untuk membandingkan Abu Dhabi dengan Jakarta karena sejujurnya Abu Dhabi terlalu jauh di depan untuk dibandingkan dengan Jakarta.
Tapi tentu ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari kedua kota ini, apalagi keduanya memiliki kemiripan terutama dari mayoritas penduduknya yang beragama Islam.

Comments closed
Comments
lihat blog aku ya
jodiindrap.blogspot.com
suksma
Gambaran yang cukup baik. Tidak ada salahnya kok membandingkan tempat kita dengan yang di luar sana, bukan berarti kita menjelekkan milik kita. Setidaknya dengan membandingkan kita bisa mengambil hal-hal yang baik dari sana.
45 derajat? hampir ‘setengah mateng’ dong 😀