Les Miserables: Cinta (Mungkin) Tidak Benar, Tapi Juga Tidak Salah
Kemarin akhirnya saya berkesempatan nonton film musikal Les Miserables. Saya baru tertarik menontonnya setelah mengetahui bahwa film ini memenangkan beberapa kategori penghargaan di Globe Award.
Ternyata bukan cuma akting pemerannya yang oke dalam film ini, tapi juga pesan moral yang saya terima.
Mungkin setiap orang punya interpretasi yang berbeda tentang pesan moral yang tersirat dalam film yang disutradarai oleh Tom Hooper, yang juga memukau saya dalam film The King’s Speech. Tapi dari film ini saya semakin yakin, bahwa cinta itu bukan urusan benar atau salah.
Cinta dalam film ini tidak cuma tentang cinta antara laki-laki dan perempuan seperti yang tergambar dari kisah Marius dan Cosette di usia remaja, tapi juga tentang cinta lainnya, termasuk cinta yang bertepuk sebelah tangan seperti dialami Eponine.
Walaupun harus menahan sakit hatinya karena cintanya kepada Marius terabaikan oleh keberadaan Cosette, tapi dia tetap berusaha ikut bahagia demi kebahagiaan Marius. Sampai akhirnya cinta itu berakhir tragis oleh tembakan militer Perancis yang berusaha menumpas pemberontakan yang diikuti Marius dan Eponine.
Selain itu ada juga cinta orang tua kepada anaknya yang gamblang diperankan oleh seorang perempuan bernama Fantine. Ibu muda ini rela melakukan apa saja demi keselamatan Cosette kecil, putri semata wayangnya.
Setelah dipecat dari pabrik tempatnya bekerja, dia menjual apapun yang dia punya, bahkan kehormatannya sebagai perempuan. Semua dia lakukan demi sang putri yang juga memerlukan pengobatan.
Sampai akhirnya, seorang buronan yang bernama Jean Valjean bersedia merawat Cosette.
Sementara dari Jean Valjean, saya bisa belajar tentang cara mencintai hidup. Dia rela menjadi buronan Inspektur Javert demi menyelamatkan hidupnya yang direndahkan oleh sistem hukum yang telah menghakiminya sebagai penjahat cuma karena mencuri roti demi menghilangkan laparnya.
Kehidupan di masa revolusi Perancis, yang jadi latar belakang film ini, menciptakan beberapa kelas di masyarakatnya. Kebetulan, Jean berada di kelas terbawah, yang harus hidup miskin dan menderita serta serba kekurangan.
Demi hidupnya, dia pun “membunuh” Jean Valjean dan memulai kisah hidup sebagai seseorang yang berbeda.
Kisah Inspektur Javert pun mengajarkan kepada saya tentang mencintai profesi. Tugasnya sebagai pejabat polisi mungkin terkesan tidak berperikemanusiaan kepada mereka kaum tertindas karena sistem hukumnya memang tidak berpihak kepada mereka.
Tapi, memang itulah tugasnya dan dia menjalaninya dengan sepenuh hati tanpa peduli apa kata orang. Dia hanya berpegang teguh pada sumpah setia kepada profesinya. Bahkan sekalipun saat dia harus berhadapan dengan orang baik seperti Jean Valjean, dia tetap teguh pada sumpahnya.
Kisah cinta di film ini tak hanya tentang kisah cinta yang saya tulis di atas. Perjuangan Marius dan kawan-kawannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Perancis yang miskin pun mengajari saya tentang apa itu cinta negara.
Walaupun Marius dkk., berasal dari keluarga yang berkecukupan, mereka tidak mau melihat negara mereka membiarkan ada sekelompok orang yang masih hidup di bawah standar hidup yang layak.
Mereka berjuang, bahkan harus melawan kehendak orang tua mereka sendiri. Militer Perancis yang menjalankan tugas untuk menjaga kedaulatan pemerintah pun mereka hadapi meskipun harus bertaruh nyawa. Cinta kepada negara mereka tunjukkan justru dengan melawan kebijakan negara.
Kisah perseteruan antara Jean Valjean dan Javert sebagai buronan dan polisi pun memiliki pesan moral yang dalam untuk saya. Mereka mengajarkan bagaimana caranya mencintai rival.
Ini sulit, sumpah.
Mungkin kita, terutama saya, masih belum bisa menghargai rival sebagai sesama manusia yang tidak ada bedanya dengan kita, hanya dibedakan dari tujuan yang pengen diraih.
Tapi Jean dan Javert mampu melakukan itu. Meskipun Javert terkesan jahat kepada Jean dengan tetap berusaha menangkapnya saat Jean sedang berusaha melakukan kebaikan, tapi Javert menunjukkan cinta itu.
Dia membiarkan Jean yang sedang menyelamatkan nyawa Marius, yang juga musuh Javert karena Marius adalah salah satu penggerak pemberontakan. Jean pun membiarkan Javert melarikan diri dari penawanan para pemberontak.
Film ini keren menurut saya.
Dari film ini jelas sekali untuk saya, tidak ada cinta yang salah, sekalipun mungkin itu juga tidak sepenuhnya benar.
Cinta memang seharusnya seperti itu, bukan tentang siapa yang benar siapa yang salah.
Menurut saya, cinta itu berawal dari sebuah niat yang baik. Kebaikan seharusnya tidak dinilai dari apakah itu benar atau salah. Biarlah itu jadi urusan Yang Maha Benar di atas sana.
Menurut saya tidak penting apakah cara Fantine menunjukkan cintanya itu benar atau salah. Apakah Javert yang harus menjadi “lawan” dari Jean Valjean, karena cintanya terhadap profesinya menjadi pihak yang salah, itu bukan masalah. Mereka semua melakukan itu karena rasa cinta yang mereka punya, dan itu mungkin tidak benar, tapi tidak salah.
Selamat menonton.

Comments closed
Comments
Waduh, sudah lama saya ndak nonton film apalagi di bioskop, apalagi film tentang cinta, hehe
Kalaupun sempat nonton, paling-paling film di bioskop transTV 😀
Kalau saya menonton film seperti ini wajib di bioskop, kalau di rumah pasti ndak jadi nonton. Ini saja mau nonton “The Pianist” belum jadi-jadi.
Tulisan ini bisa jadi bahan pertimbangan saya.
saya dulu pernah baca novelnya dan sudah lama sekali. melihat review ini saya jadi benar-benar harus segera menyempatkan diri untuk menontonnya. 😀
Jadi pengen cari DVD nya. Referensi yang sangat mendetail. Salute.
Sudah baca beberapa referensi tentang film ini. Menarik juga, suatu saat nonton.
boleh juga ini, jadi penasaran pingin nonton juga
Tapi, benarkah cinta dapat mengalahkan segalanya…xixixi
Saya belumm pernah nonton Film ini, tak coba ublek2 koleksi Film di lappi sepupu dech, lumayan suka cerita cinta meski kadang sering membuat saya jadi tukang khayal 🙂
yapp,, les miserables is awesome.. Love it!
So,, love is never wrong? Hehehehe..