Kontroversi Pelajaran Sejarah
Katanya, mata pelajaran sejarah tidak akan lagi menjadi pelajaran wajib di tingkat SMA, cuma menjadi pelajaran pilihan. Ada yang setuju, banyak juga yang menolak.
Saya sendiri adalah penyuka pelajaran sejarah di sekolah dan kisah-kisah sejarah yang saya peroleh di luar sekolah. Sampai sekarang saya masih gemar membaca artikel-artikel sejarah.
Saya pribadi memang menyayangkan bila pelajaran sejarah tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib di dalam rencana kurikulum pendidikan yang sedang disiapkan oleh kementerian yang dipimpin Pak Nadiem, tapi saya tidak ingin berdiskusi terlalu jauh tentang penting atau tidaknya menempatkan mata pelajaran ini sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan. Biarlah itu dibahas oleh para ahlinya.
Kalau metode belajar dan ujian pelajaran sejarah masih seperti yang saya alami selama masa sekolah dulu, saya pikir memang tidak penting lagi keberadaan pelajaran ini bagi siswa sekolah, kecuali bagi mereka yang benar-benar meminatinya.
Lha, siswa cuma diminta mengingat dan menghafal tanggal dan lokasi peristiwa, nama tokoh dan materi-materi hafalan lainnya. Kalau masih seperti itu terus, lebih baik memang tidak menjadi pelajaran wajib, karena informasi semacam itu bisa diperoleh dengan mudah di internet.
Sejarah seharusnya menyenangkan.
Siapa pun pasti senang mendengar dongeng, termasuk saya. Begitu pula seharusnya siswa menerima pelajaran sejarah dari gurunya. Mereka pasti akan sangat menikmati pelajaran tersebut bila disampaikan seperti orang tua yang mendongengi anak-anaknya.
Ceritakan kronologinya, perlu juga menyampaikan kapan dan dimana terjadinya suatu peristiwa, penting juga mengenalkan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya, tapi kembangkan kemampuan siswa untuk menangkap pesan moral dari suatu peristiwa.
Pesan yang diperoleh siswa mungkin berbeda dengan apa yang diharapkan pihak sekolah, atau mungkin siswa justru menciptakan suatu teori konspirasi berdasarkan fakta-fakta yang ia pelajari dan kaji, ya diskusikan.
Guru boleh mengarahkan atau mengoreksi kalau pemikiran siswa terlalu melenceng jauh atau justru menimbulkan kebencian kepada suatu tokoh atau kelompok berdasarkan sejarah yang ia tahu.
Saat ujian, jangan ditanya, misalnya: pada tanggal berapa terjadinya peristiwa Rengasdengklok? Tanggal ulang tahun anggota keluarga kita pun bisa saja lupa, apalagi peristiwa lain yang jauh dari keseharian kita.
Tapi tanyakan kepada peserta ujian, pandangan mereka terhadap peristiwa tersebut. Jawaban siswa berpotensi menimbulkan kontroversi dan bikin para guru geregetan? Justru di situlah seharusnya serunya pelajaran sejarah.
Misalnya, guru harus siap menerima jawaban seorang siswa terhadap peristiwa Rengasdengklok:
“Seharusnya para pemuda lebih sabar untuk menunggu waktu yang tepat untuk meminta Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dst. Jadi kita bisa lebih siap lagi merancang negara dan pemerintahan, membentuk tentara yang kuat dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lainnya.”
Jawaban seperti itu seharusnya tidak sepenuhnya salah.
Atau minta para siswa menceritakan kembali suatu peristiwa sejarah yang mungkin paling berkesan baginya selama mengikuti mata pelajaran sejarah beserta alasannya.
Sejarah juga lahir dari kesaksian banyak orang. Contoh sederhana, sejarah kelahiran saya bisa berbeda-beda menurut versi bapak, ibu, kakek, nenek, bidan, atau siapa pun yang menyaksikan atau mengetahui secara langsung peristiwa tersebut.
Apalagi sejarah yang melibatkan lebih banyak orang. Salah satunya peristiwa Hotel Oranje di Surabaya.
Maka sejarah tidak bisa cuma dilihat atau dinilai dari masalah benar atau salah. Bila ada kesaksian yang berbeda, pemahaman yang tak sama, semua itu seharusnya tak jadi soal pada mata pelajaran sejarah.
Jadi sebaiknya bagaimana?
Menurut saya, apapun keputusannya nanti apakah pelajaran sejarah bersifat wajib atau tidak, seyogyanya mata pelajaran ini jangan diuji benar dan salahnya. Kalau yang diuji hanya aspek tersebut, ya memang paling aman memberikan materi hafalan kepada peserta didik dan mengujinya sebagai syarat memperoleh nilai seorang siswa.
Nilai dan pesan moral suatu peristiwa sejarah yang justru paling penting untuk ditanamkan kepada siswa malah tidak tersampaikan. Begitu pula nanti siswa cuma bisa menilai suatu peristiwa hanya dari benar atau salahnya saja.
Seperti yang banyak terjadi sekarang, bila ada fakta lain yang berkembang tentang peristiwa 30 September 1965 di Jakarta, banyak orang serta-merta bilang itu salah!
Bila demikian, maka pelajaran sejarah akan menjadi pelajaran paling kaku dan membosankan di sekolah. Maka biarlah sejarah menjadi hobi yang bisa diperoleh siswa yang meminatinya dari kegiatan ekstrakurikuler saja.

Comments closed
Comments
Buku serius pertama yang dulu saya baca adalah buku pelajaran sejarah. Waktu itu saya masih SD dan kakak saya SMP, nah saya seneng banget dulu baca buku ini. Cerita-cerita kerajaan sangat menyenangkan, apalagi jaman itu juga ada cerita sandiwara radio bertema sejarah awal Majapahit. Tutur Tinular.., haha… Kliatan umur… 😀
Sebelum Tutur Tinular, saya juga mengikuti drama radio Satria Madangkara. Hahay!
Dari beberapa kategori pelajaran ips semasa SMA (geografi dan sejarah), eh sosiologi termasuk ga ya, kok aku jadi lupa gini ya huhu…aku lebih suka sejarah mas agung…ya mungkin karena model kurikulum jaman kita kecil textbook banget ya, jadi siswa siswanya ga dituntut sekritis kayak sekarang yang kurikulumnya entah namanya apa aku kurang tahu, soalnya uda sering ganti ganti kan…dulu mah kebanyakan ngapal, dan kebetulan aku suka ngapal, hahhahaha…tapi kalau anak sekarang mungkin literaturnya jadi nambah lagi dengan adanya akses ke internet ya, cuma kalau dari internet juga musti selidiki dulu sumbernya darimana, jangan sampai baca dari sumber yang nda jelas keabsahannya hueheheh
Woooh, anak IPS nih? Toss dulu ah.
Iya, sosiologi termasuk mata pelajaran wajib di kelas IPS.
Saya sebenarnya tidak suka ngafal, tapi kalau saya menikmati pelajarannya, saya lebih mudah mengingatnya. Tinggal dibaca ulang sebelum ujian, saya sudah ingat lagi dengan jelas.
Begitu pula untuk mata pelajaran sejarah. Sudah terlanjur menikmati pelajarannya, jadi mudah ingat beberapa detail peristiwanya.
Saya setuju sekali. Inti dari sejarah itu sebenarnya pesan moralnya, supaya kita bisa mengambil pembelajaran. Nama tokoh dan tanggal memang penting juga, tapi jika salah masih bisa dikoreksi. Tetap pesan moralnya lebih utama.
Saya beruntung guru sejarah kami waktu SMA sangat pandai bercerita. Saat pelajaran sejarah seakan kami didongengi cerita perjuangan para pahlawan dulu. Benar-benar menyenangkan. Walaupun ujiannya kami tetap harus mengahapal nama dan tanggal.
Iya mbak, enak kalau gurunya bisa menyampaikan suatu peristiwa sejarah dengan cara yang menarik. Bisa memancing banyak diskusi karena siswa-siswanya seksama mengikuti dan banyak pertanyaan yang muncul.
Jadi guru sekarah juga harus banyak mengetahui fakta-fakta lain dari suatu peristiwa sejarah, tidak hanya dari satu versi. Biar makin seru belajarnya.
Betul mas.. kalau pola pengajarannya masih sama seperti dahulu, saya rasa dihilangkan pun tidak masalah. Tidak ada gunanya siswa yang sekedar hafal tanggal peristiwa, tetapi tidak mengerti makna kejadian tersebut.
Harus ada yang berubah dalam pola pengajaran yang menekankan indoktrinasi dan bukan memahami seperti yang kebanyakan dilakukan dalam pengajaran sejarah
Saya sepakat pak.
Kalau materinya cuma hafalan, maka seharusnya tidak perlu ada jam mata pelajaran sejarah di sekolah. Guru cukup mengumumkan kepada siswanya, misalnya, baca sendiri materi sejarah perang dunia kedua.
Sudah, tinggal menunggu ujian saja. Hehe.
Saya jaman SMA cuma belajar sejarah saat kelas 1 mas, setelah penjurusan dan masuk IPA, jadi nggak pernah belajar sejarah hehehe. Saya pribadi dulunya nggak begitu suka pelajaran sejarah karena isinya mostly hapalan soal tanggal, nama tokoh, nama peristiwa endeblabla. So instead of memahami sejarah dan moral ceritanya, saya serta siswa lainnya cenderung dipaksa menghapal hal yang pada akhirnya kami lupakan 😀
Anehnya, sekarang saya suka belajar dan memahami sejarah. Semisal pergi ke suatu tempat lalu penasaran, saya bisa rajin cari tau sejarahnya. Nggak perlu dihapal justru jadi ingat di luar kepala 😀 hehehe. Saya rasa, kalau cara pembelajaran sejarah masih sama seperti jaman saya sekolah, memang nggak begitu memberi manfaat ke para siswa. Karena sejarah lebih asik dipelajari dengan metode bercerita bukan dihapal. Itu menurut saya 😛
Aku sama seperti Kak Eno! Dan setuju dengan pernyataannya! Hahaha
Halo Mbak Eno dan Mbak Lia.
Sebenarnya sejarah itu memang menarik, sebab apapun yang kita lihat sekarang ada sejarahnya.
Bahkan, dalam mencari jodoh pun, selain apa yang kita lihat sekarang dari calon pasangan kita, pasti kita juga akan melihat sejarah/riwayat hidupnya.
Saya juga salah satu penyuka pelajaran sejarah karena banyak kisah kisah menarik atau penting didalamnya. Tapi memang sejarah bisa bias karena ditulis oleh pemenang. Misalnya jika dahulu PKI bisa menguasai Indonesia pasti sejarah akan beda. Begitu juga peristiwa bersejarah lainnya.
Soal jadi pelajaran wajib atau bukan di SMA aku serahkan pada pemerintah saja deh.?
Betul sekali kang, memang ada yang bilang, sejarah itu ditulis oleh pemenang. Lebih tepatnya lagi, sejarah yang dikenal luas. Sebab mereka yang kalah pasti alan mengisahkan peristiwa yang sama tapi mungkin tidak setenar apa yang ditulis pemenang.
Seandainya gerakan 30 September waktu itu berhasil, betul sekali, pasti sejarahnya akan berbeda, tapi tidak menutup peluang kita tahu cerita yang lain dari pihak yang kalah.
Kalau yang terakhir saya setuju sekali kang. Biarlah para ahlinya yang menentukan di sana, kita cuma berdiskusi ringan saja di blog yang nampaknya tidak akan mempengaruhi apa-apa terhadap keputusan mereka. Hehe.
Saya termasuk yang kontra kalau pelajaran sejarah dihilangkan, tetapi tidak menyalahkan juga terhadap mereka yang pro,, karena, seperti yang bli sampaikan, pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah cenderung kaku sehingga banyak yang malas untuk mempelajarinya.. Saya suka sejarah, sekarang. Beda dengan dulu ketika masih sekolah, pelajaran sejarah bener-bener bikin ngantuk dan membosankan. Menghafal tanggal-tanggal , peristiwa-peristiwa, juga nama-nama yang terlibat dalam sejarah adalah sesuatu yang menyiksa tapi harus dilakukan karena itulah yang biasanya keluar di ulangan harian atau ujian. Akhirnya ya menguap gitu ajaa, jujur aja banyak detil pelajaran sejarah yang saya bener-bener lupa.
Saya rasa yang harus diubah adalah metode pembelajarannya, nggak tau ya kalau sekarang, tapi kalau dulu itu benar-benar bikin ngantuk. Menurut saya, guru sejarah harus memiliki kemampuan story telling yang baik supaya bisa membawa suasana kelas seakan kembali ke masa lalu dengan memancing imajinasi peserta didik. Ujian seharusnya bukan tentang hafalan, tapi tentang apa yang ditangkap dari kejadian masa lalu? apa hikmah yang dapat diambil? dan lain sebagainya. Penilaian akan susah memang, karena subjektif. Tapi, bukannya sejarang memang tidak ada yang pasti??? Itulah serunya, imajinasi dan persepsi masing-masing dari kita pasti akan berbeda.
Haha,, dulu mengantuk ya kang, kalau belajar sejarah. Bahkan kalau tidak salah ingat, pernah ada satu waktu, saat jam mata pelajaran sejarah, guru menugaskan seorang siswa untuk membacakan materi pelajaran di depan kelas. Padahal materi itu ada di buku yang sudah dimiliki oleh semua siswa.
Hehehe.
Iya lho kang, seharusnya sejarah itu seru dan menyenangkan. Imajinasi bisa kemana-mana bahkan sampai bikin teori konspirasi memakai ilmu cocoklogi atas beberapa potongan-potongan kisah sejarah. Haha.
Dulu ketika masih sekolah, aku juga suka dengan pelajaran sejarah. Pelajran yang asyik menurutku. Tapi tergntung gurunya juga. Jika gurunya benar-benar menguasai pelajran sejarah dan bisa menceritakan secara sistematis tentang sejarang yang dibahas, aku suka. Apalagi setelah membaca salah satu buku karya Agung Pribadi yang berjudul “Gara-gara Indonesia”, dari situ aku semakin suka dengan mata pelajaran sejarah. Di buku tersebut banyak perubahan yang terjadi di dunia gara-gara Indonesia. Dan yang menjadi pertanyaan besar untukku, di buku tersebut ditulis bahwa Amerika tidak akan ditemukan jika tidak ada Indonesia. Wah seru pokoknya deh pelajaran sejarah.
Toss dulu kalau gitu kita. Saya juga sangat suka sejarah, meskipun tidak semua pengalaman mengikuti mata pelajaran sejarah sesuai dengan harapan saya. Mungkin karena memang sudah suka duluan, jadi tetap suka.
Wah, saya nampaknya perlu baca buku “Gara-Gara Indonesia”. Saya juga pernah dengar beberapa kali “peran” Indonesia dalam suatu peristiwa dunia, seperti kekalahan Napoleon yang konon disebabkan oleh meletusnya Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat.
Aku termasuk golongan yang akan sangat menyayangkan jika pelajaran sejarah dijadikan pelajaran alternatif atau juga dihapus dari pelajaran wajib sekolah.
Bukankah bangsa yang besar berangkat dari sejarahnya ?.
Rasanya aneh saja kalau sampai benar terbukti pelajaran sejarah jadi pelajaran alternatif.
Iya mas, agak disayangkan ya. Tapi kembali lagi mas, mungkin karena metode belajarnya masih berupa hafalan makanya dipertimbangkan untuk dihapus dari pelajaran wajib.
Saya pernah dengar, metode belajar hafalan sudah dianggap kuno dan tidak mendidik.
Bisa juga misal ada semacam kunjungan ke tempat-tempat yang menjadi lokasi dimana “sejarah” itu terjadi. Jujur, saya malah lebihbtertarik dengan model pembelajaran yang seperti ini. Jadi nggak 100% menghafal dan textbook melulu.
Nah iya mas, kalau cuma hafalan semuanya, guru tinggal beri saja materi belajarnya kepada siswa lalu biarkan siswa membaca sendiri dan menghafal dengan caranya masing-masing.
Mata pelajaran sejarah jadi tidak perlu disediakan jam khusus lagi kalau begitu.
Seandainya guru pelajaran sejarahku waktu SMA adalah Kak Agung, mungkin aku akan lebih jatuh cinta dengan pelajaran sejarah hahaha.
Aku sebenarnya suka mendengarkan cerita sejarah tapi jika diceritakan dengan cara yang Kak Agung sebut, seperti didongengi. Dan ujiannya pun bukan cuma menghafal gitu. Jujur aja, menghafal tanggal-tanggal kejadian bersejarah itu sulit karena bukan cuma 1 ? makanya suka malas kalau ujian sejarah. Namun, apapun keputusannya kelak, sejarah udah menjadi bagian dari sebuah bangsa, jadi sedikit banyak, sebagai warga negara harus mengetahui sejarah bangsanya baik melalui pelajaran di sekolah atau di tempat lain yang penting tahu tentang sejarah bangsa. Jadi misalnya nanti pelajaran sejarah di sekolah menjadi mata pelajaran tidak wajib, anak-anak tetap harus tahu sejarah bangsa dan dunia. Jangan jadi tutup mata.
Hehe Mbak Lia, jangan saya yang jadi guru, takutnya nanti diskusinya jadi liar karena saya akan membuka kesempatan seluas-luasnya untuk setiap pemahaman siswa terhadap suatu peristiwa dan juga untuk cerita versi lain dari suatu peristiwa yang diketahui siswa.
Sepakat mbak, sekalipun hanya mata pelajaran pilihan, jangan sampai itu menbuat generasi muda menjadi tak acuh dengan sejarah.
sejatinya pelajaran sejarah bisa membuat kita semakin tahu perjalan rjalanan Indonesia sampai saat ini. tapi yang saya tidak suka dari sejarah, ketika ada peristiwa sejarah yang diputar balikkan untuk kepentingan power sistem.
Iya mas, memang banyak terjadi sejarah yang diplintir demi mengamankan kekuasaan.
Tapi, fakta-fakta sejarah yang berkaitan tidak akan bisa serta merta dihapus begitu saja, apalagi di masa keterbukaan informasi sekarang ini.
Aku baru menyukai sejarah setelah lepas dari bangku sekolah.
Lebih banyak POV yang aku dapat dan sumbernya lebih beragam, jadi seperti contoh yang Mas Agung tuliskan, aku pun sempat pertanyakan, kenapa saat itu kemerdekaan kesannya terburu-buru padahal negara kita sebetulnya belum siap penuh.
Joke soal, lebih baik kita dijajah Inggris ketimbang Belanda, masuk banget di aku, hohoho..
Hm.. IMO, apa yang dicontohkan Mas Agung sepertinya belum bisa terealisasikan. Menerima murid kritis? I don’t think our educator ready with that. Mau daftar kerjaan aja, khususnya aparat pemerintah, masih ditanyain, ada sangkut paut g sama PKI? Ideologi yang itungannya bagian dari sejarah pun belum dipahami dengan baik, sampai ketakutan ini mengakar di nadi WNI, saking g kenal sejarah.
Oh dan satu lagi, aku suka sekali sama quote ini, “History has been written by the victors”. So yeah.. kalau menunggu perubahan, keknya lamaaaaaaa, hehe
Iya sih Mbak, saya setuju kalau sistem belajar di kebanyakan sekolah nampaknya masih satu arah, hanya dari guru kepada siswa. Sementara sebaliknya belum terlalu aktif. Entah itu disebabkan karena gurunya yang memang tidak terbuka dengan diskusi, atau memang sistem belajarnya yang tidak bisa merangsang siswa untuk kritis dan tahu bagaimana menyampaikan opininya.
Seperti yang saya bilang untuk menanggapi komentarnya Kang Agus, sejarah sebenarnya tidak cuma ditulis oleh pemenang, tapi pemenanglah yang menentukan sejarah versi mana yang berlaku. Seperti sejarah peristiwa G30S, pasti ada banyak versi selain yang kita ketahui selama ini, dan memang terbukti demikian sebab sekarang banyak sekali fakta lain yang terkuak, namun karena orde baru adalah pemenangnya waktu itu, maka mereka bisa menentukan sejarah versi apa yang berlaku. Beruntung sekarang transparansi informasi semakin baik, sehingga walaupun ditutup-tutupi, tidak sedikit informasi yang bisa kita peroleh dari sumber selain pihak yang berkuasa. ?
saya dulu suka banget sejarah
sampe ngapalin nama nama presiden filipina padahal engga penting banget hahah
tapi ini tergantung anak mas kalau masalah suka dan tidak
selain tentunya cara mengajar
pas ngajar dulu, anak-anak lebih suka kalau melihat realitas langsung sehingga muncul keingintahuan.
semisal kayak sejarah apartheid dulu saya pajang kursi yang hanya boleh untuk kulit putih dan pertanyaan kalau orang kulit hitam duduk di sana gimana?
kalau dihapuskan si ya bakalan mundur
wong kita ya belajar dari sejarah diri kita
apalagi dengan adanya disinformasi sekarang ini
engga bisa membayangkan saya
Haha,, kenapa jadi menghafal nama-nama presiden FIlipina, mas?
Iya betul mas, minat siswa memang jadi salah satu faktor yang menentukan apakah siswa akan menyukai pelajaran sejarah.
Tapi jangan sampai saat ada siswa yang menyukai sejarah jadi ilfil karena sistem belajar di sekolah tidak menyenangkan.
Selain itu, bisa juga sistem belajar yang menyenangkan akan menumbuhkan minat siswa terhadap mata pelajaran sejarah.
Naaah aku dukung banget kalo pelajaran sejarah seperti itu, ga hanya ngapalin tahun2 doang yg bikin sakit kepala :D.
Akutuh suka kok Ama pelajaran sejarah. Dulu fav ku pas belajar ttg manusia purba. Pas belajar perang2 di Indonesia jujurnya bosen, Krn kebanyakan ngapalin tahun. Padahal coba kalo dibikin kayak cerita kan jd menarik.
Kayak di Jepang misalnya. Mereka punya banyaaaak museum sejarah. Museum bom atom Hiroshima, museum Nagasaki, museum kamikaze, semuanya terkait Ama sejarah . Dan ditampilkan dengan amat sangat menarik, detil, dan interaktif. Aku yg melihat aja jd lgs paham, ini awal mula sekutu membom Jepang dengan bom atom.
Padahal pas belajar di buku sejarah, pas bagian Jepang dibom, boro2 ngerti. Penjelasannya aja cendrung sedikit dan ga jelas. Pantes aja banyak murid ga tertarik Ama sejarah kalo seperti itu diajarkan.
Nah iya, minat siswa terhadap mata pelajaran sejarah juga bisa dipupuk dengan studi wisata ke museum atau situs sejarah yang ada di daerah setempat. Guru mata pelajaran sejarah harus kreatif melakukan banyak cara agar siswa menjadi lebih tertarik dengan pelajaran sejarah.
Kalau di Jakarta, banyak sekali museum, tapi baru beberapa yang saya kunjungi. Koleksi benda-benda bersejarahnya cukup lengkap.
Nanti kalau pandemi sudah berakhir, saya mau mengunjungi museum yang belum pernah saya datangi.
Sebenarnya pelajaran sejarah itu menyenangkan, jangan diambil kaku atau seriusnya tapi ceritanya. Saya suka dengan cerita sejarah karena kita bisa memiliki gambaran tentang apa yang terjadi pada masa itu.
Mengenai benar atau tidaknya, tentu saja itu akan jadi tugas pemerintah untuk menyajikan informasi yang tak menyesatkan.
Terkait kecenderungan anak pada satu tokoh, biasanya itu terjadi tak lepas dari orang dewasa yang menjadi acuan dirinya berpikir. Tidak ada yang salah dengan itu, selama anak diajarkan melihat segala sesuatu secar objektif.
Buat saya sejarah bukan persoalan benar atau salah, Mas Agung, tapi soal wawasan dan perspektif. Mungkin pelajaran Sejarah di sekolah perlu diarahkan ke memberikan kata kunci-kata kunci buat siswa supaya lebih bersemangat membuka tabir sejarah, atau sekurang-kurangnya bikin siswa menyadari bahwa pengetahuan sejarah itu berguna buat menentukan sikap dan arah ke depan, bukannya malah memberikan pengalaman traumatis yang bikin mereka ignoran sama masa lalu. Kayaknya seru itu kalau pelajaran bahasa Indonesia disinkronisasi atau diintegrasikan dengan sejarah. Misalnya, pendekatan sejarah dibikin cenderung bersifat naratif ketimbang (sekadar) kronologis.
Wah sangat disayangkan ya jika benar demikian adanya. Sejarah itu bisa menjadi hikmah bagi kita yang mempelajarinya. Padahal rata2 dalam kitab suci umat beragama, 1/3 isinya adalah sejarah.