Hati-Hati Jebakan Polisi?
Pelanggar lalu-lintas terperangkap jebakan polisi. Seharusnya polisi melakukan pencegahan, bukan menunggu pelanggar untuk ditilang. Setuju?
Pagi ini emosi saya teraduk-aduk dengan sebuah video di Instagram. Video menayangkan seorang pemotor yang merasa dirinya terperangkap jebakan polisi.
Ceritanya si pemotor berputar arah di sebuah u turn. Dia melihat ada rambu dilarang berputar arah di sana, tapi tetap melanggarnya.
Beberapa meter setelah berputar arah, dia diberhentikan oleh polisi dan ditilang.
Pada bagian komentar video itu, saya baca ada beragam opini. Ada yang mendukung polisi, tapi banyak pula yang menghujat.
Jebakan polisi itu apa, sih?
Banyak yang bilang seharusnya polisi berjaga di rambu lalu-lintas. Mencegah pelanggaran, bukan menangkapi para pelanggar.
Nah, begitu pula menurut si pemotor yang ditilang tadi. Seharusnya polisi berjaga di rambu lalu-lintas yang dia langgar. Kalau ada petugas polisi di sana, si pemotor menjamin takkan melanggar.
Bila dilihat dari sudut pandang itu, nampaknya memang benar apa yang dilakukan polisi semata-mata hanya menjebak.
Tapi bagaimana dengan tilang secara elektronik?
Sistem kerja tilang elektronik adalah merekam pelanggaran. Tidak ada polisi yang menjaga, hanya kamera pengawas. Posisi kamera pengawas kadang tak mudah terlihat.
Tapi bila kita melanggar aturan lalu lintas, surat tilang akan terkirim.
Apakah itu juga jebakan polisi?
Okelah kita tak perlu berdebat lebih panjang tentang itu. Jebakan atau tidak, seharusnya tak akan mempengaruhi perjalanan kita.
Kalau kita tidak melanggar marka dan rambu lalu-lintas.
Sangat sederhana.
Kalaupun benar apa yang dilakukan oleh polisi di video tersebut adalah menjebak pengguna jalan, maka jebakan itu tak akan ada artinya bila kita tertib di jalan.
Saya sendiri adalah pengendara sepeda motor. Pernah tertangkap tangan oleh polisi saat melanggar.
Contohnya, saya pernah masuk ke lintasan khusus bus Transjakarta (busway). Saat itu portal penutup jalur terbuka dan tidak ada penjaga baik dari Transjakarta maupun dari kepolisian.
Hanya ada sebuah rambu dilarang masuk kecuali bus Transjakarta.
Tapi saya tetap masuk bersama beberapa pemotor lainnya. Menghindari macet di jalur umum, maksudnya.
Ternyata di ujung jalur busway ada beberapa polisi yang berjaga lengkap dengan peralatan perangnya, buku tilang.
Banyak yang nekat putar balik berlawanan dengan arah busway. Ada yang olah raga mengangkat sepeda motornya ke luar dari busway melewati pembatas jalur yang setinggi lutut laki-laki dewasa.
Saya memilih tetap maju. Siap untuk ditilang.
Saya tak merasa dijebak, karena sejak awal saya sudah diperingatkan oleh rambu dilarang masuk.
Andai saya tidak melanggar, secanggih apa pun jebakan polisi yang dipersiapkan di ujung busway, tidak akan mempengaruhi perjalanan saya.
Saya jadi terpikir…
Bila si pemotor di video tadi ditilang polisi karena tidak mengenakan helm saat berkendara.
Mungkin dia akan bilang,
“Jebakan nih! Seharusnya polisi jaga di depan rumah saya dong, biar saya pakai helm! Bukannya nungguin saya melanggar di jalan begini!!“
Semoga kita semua selalu selamat di perjalanan. Keluarga tercinta menanti di rumah.

Comments closed
Comments
Untuk menangkap maling kadang juga perlu jebakan…
Rambu lalu lintas kan sebagai ganti polisi buat ngatur jalan, lha mosok ya polisi masih harus nungguin?
Soal kemarahan orang pada polisi sih sebenarnya bukan melulu pada masalah teknis. Citra buruk polisi selama bertahun-tahun ikut menyumbang kenapa kok orang gampang sewot sama polisi…
Betul mas.
Citra polisi secara umum memang sangat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap kinerja mereka. Sampai polisi baik yang bekerja dengan jujur dibilang oknum.
Setujuuu
Saya jadi inget pernah melanggar tidak pakai helm, pdhal polisi didepan
Mungkin rabun, jadi ga keliatan ?
Atau mungkin itu patung polisi, mbak?
Aha..ha…jadi ingen dulu juga pernay kena tilang pak polisi sebanyak 3 kali?, tiap saya sadar itu salah saya sendiri karena belum punya sim Tapi lewat jalan raya. Setelah 3 kali kapok baru saya cari jalan lain yang tersembunyi. He..he…
Waah,, seharusnya sudah cukup ya 3x saja. Hehe.
Ditilang polisi bukan masalah apanya sih, tapi repot saja kalau harus mengurus pembayaran denda ke pengadilan dan mengambil SIM atau STNK yang disita polisi. Iya kan, mbak?
Kalau melihat suatu permasalahan itu memang unik
Pastinya akan terjadi pandang sudut yang berbeda
Dan dua-dunya tampak ada benarnya juga
Karena saya tidak tahu kejadian pastinya, ya hanya bisa bersikap netral saja.
Sambil mangut-mangut seruput kopi
Daripada ikut koment, justru menambah emosi
Kejadian yang sebenarnya adalah si pemotor melanggar rambu lalu lintas. Kemudian distop oleh polisi dan ditilang. Kejadiannya sederhana tapi perdebatannya yang penuh drama. Padahal sudah jelas pelanggarannya.
Komentar kalau netral pasti tidak akan emosi om. Apalagi kalau cuma menyampaikan opini.
Wkwk maaf, aku malah ngakak di bagian akhir ?
Jebakan atau bukan, memang kita sendiri yang harus sadar diri. Kalau udah jelas-jelas ada rambu dilarang, jangan dilanggar lah ?
Nanti kalau udah kena tilang, baru marah-marah padahal salahnya sendiri.
Sama aja kayak berbuat dosa, kan hukumannya di akhir bukan di awal. Sama aja kayak ditilang, maksudnya biar ada penyesalan gitu lho. Kalau masih ngeyel yauda, capek deh aja ?
Wah,benar juga ya. Ibarat dosa. Rambunya sudah ada di dalam kitab suci. Sang Pembuat rambu tidak pernah menjaga supaya kita tidak melanggar rambunya. Tapi kalau kita melanggar, ya nanti akan “ditilang” belakangan oleh Yang Maha Adil.
Menarik.
Dulu zaman acara tv 86 di Net masih tayang agak sorean suka ada “jebakan polisi” mas 🙂
Oh iya mas? Saya baru tahu. Hehe.
Yang “terjebak” pasti yang melanggar rambu lalu-lintas. Yang tidak melanggar, akan nyaman-nyaman saja melanjutkan perjalanan.
Betul, segmen tilang di jalan ahaha… Banyakan yg dimasukin tv yg gak bawa helm sama nggak bawa surat sih
Hehe,, begitu ya. Jangan lupa memakai helm dan membawa surat-surat kendaraan ya mas.
Serta selalu berhati-hati di jalan.
Siap mas, makasih 🙂
Kok komentar saya langsung dimasukkan spam ya? apa kepanjangan?
Kejadian semacam ini menjadi ada 2 kubu karena memang dua pihak ada yang salah. Jadi menurut saya perbaikannya juga harus di dua pihak, baik masyarakat umum maupun pihak polisi.
Ada orang yang memang suka melanggar sehingga kadang butuh jebakan polisi untuk memberi pelajaran. Tapi ada juga oknum polisi yang “menjebak”, sehingga orang patuhpun akan kena dan ini saya alami.
Saya pernah melanggar karena rambu tertutup rimbun daun pohon tidak dibersihkan cabang pohonnya. Jika di daerah kurang familiar pasti terjebak. Seandainya cuma itu saya tidak akan menuduh pihak polisi “menjebak”, tapi saat dibawa ke pos, saya baru tahu kalau banyak yang ketilang dan antri untuk dibuatkan surat tilang. Akhirnya sempat lihat-lihat keadaan, dan apa yang saya lihat?
Saya melihat oknum polisi sengaja berdiam di ruang berkaca untuk mengincar yang terjebak, lalu akan berlari-lari kalau ada yang melanggar untuk mencegat. Ada yang lari dan dipukul, bahaya itu bisa ada tabrakan karena pelanggar oleng ke kanan untuk menghindari polisi, dan membahayakan pengendara dibelakangnya.
Seandainya sampai sini, saya masih tidak akan menyebutnya “menjebak”. Ternyata setelah giliran saya dibuatkan surat tilang, saya minta surat tilang biru agar langsung transfer dengan denda tertinggi. Apa jawabannya? tidak bisa hari ini, baru bisa besok, akhirnya ya saya minta ke pengadilan saja kalau sama-sama gak bisa selesai hari ini. Apa jawabannya, ditawari selesai di tempat tanpa surat tilang. Gubrak!… Apa ini?! akhirnya saya tetap ngeyel sidang, sudah kadung marah, meski nyesel setelahnya karena harus nunggu hampir sebulan sampai sidang.
Yang saya pikirkan, ini kan polisi gak sendirian, dan juga banyak antri yang ketilang, kok bisa ngajak damai dari pihak polisinya? bukankah berarti semua oknum polisi piket saat itu semua berkolusi untuk melakukan salam tempel?
Oh iya ya, ada komentar yang masuk spam. Tapi nampaknya bukan karena kepanjangan komentarnya, karena komentar yang ini saya terima notifnya. Saya tampilkan yang ini saja ya, mas.
Terima kasih mas, untuk sharing pengalamannya. Kalau pengalaman sejenis saya juga pernah mengalaminya, apalagi di daerah/lokasi yang masih asing jalanan atau lalu lintasnya. Saya ngotot merasa tidak melanggar, eh ternyata memang ada rambunya yang tersembunyi oleh pohon. Tapi waktu itu polisinya tidak menawarkan solusi damai di tempat, jadi ya SIM saya disita dan bisa diambil setelah membayar denda.
Betul mas, kepolisian juga banyak kelemahannya, bahkan ada guyonan yang bilang, oknum di kepolisian itu justru adalah polisi yang baik. Hehe.
Tapi, kalau saya memang terbukti melanggar, ya sudah saya memang harus menerima konsekuensi dan menganggap saya bukan terjebak, tapi memang sial tak sengaja melanggar aturan. Yang namanya ditilang itu memang menjengkelkan, walaupun memang kita melanggar (sengaja maupun tidak disengaja). Hehe.
Terima kasih, mas.
Bukannya belain polisi yaaa, tapi menurutku sih itu bukan jebakan :D. Apalagi si pengendara alasannya begitu pula, harusnya polisi jaga di depan. Laaaah, jadinya dia bakal ngelanggar lagi dunk , padahal jelas2 di tempat itu ga bisa puter balik. Sediih yaaa, masyarakat di sini masih blm sadar Ama aturan. Ntah kapan orang2 bisa seperti di Jepang yang ada ato ga polisi berjaga, ttp aja patuh. Buang sampah, ngantri, semua disiplin.
Suamiku pernah ditilang Ama polisi juga. Tapi aku minta dia terima aja konsekwensinya. Emang salah kok :). Kalo harus bayar denda Krn melanggar, ya udah.. dijadiin pelajaran 🙂
Yg bisa aku lakuin skr, ngajarin anak2ku disiplin ttg ini. Ttg patuh terhadap lalulintas, buang sampah, antri di manapun, supaya mereka terbiasa dan ga jadi orang yg baru patuh kalo ada penjaganya :p
Iya mbak, saya juga tidak bermaksud membela polisi. Apalagi memang ada juga polisi yang usil. Tapi kalau memang posisi kita melanggar aturan, ya sudah seperti kata mbak, terima saja konsekuensinya.
Kalaupun mau minta ‘pengampunan’ juga boleh yang penting tidak ‘uang damai’. Saya pernah tuh waktu awal² di Jakarta, saya ikut melanggar karena yang di depan melanggar. Saya pikir boleh, ternyata saya ditilang, yang depan lolos.
Saya minta maaf, bujuk²in pak polisinya, alasannya saya baru tinggal di Jakarta. Pak polisinya bilang, “Ya sudah saya maafkan, tapi lain kali jangan melanggar” tanpa uang damai. Hehe.
Tapi mbak, anehnya kalau orang Indonesia ada di Jepang atau minimal Singapura, pasti tertib ikut aturan. Mbak pasti perhatikan juga, kan?
Selain level kedisiplinan, memang kita kalah di penegakan juga sepertinya.
Menurut saya itu bukan jebakan, sih, Mas. Rambu-rambunya jelas soalnya (kalau yang saya tangkap dari cerita ini). Kecuali kalau isilop-nya menyuruh pengendara untuk lewat di u-turn terlarang itu, terus setelah pengendara itu lewat, ia di-prit.
Sudah rahasia umum sih Mas orang-orang malas taat rambu. Itu rambu belok kiri ikuti APILL sudah dipajang besar-besar dikasih latar merah masih aja dicuekin. Lampu merah juga. Saya paling kesal kalau ada yang mencet klakson saat lampu masih merah. Padahal nggak bakal ada gunanya berhenti pas lampu merah kalau akhirnya buru-buru cus sebelum hijau. Hehehe…
Nah! Saya tidak bisa menambahi lagi. Komennya sudah lengkap.
Semenjak ada tilang elektronik, saya tuh jadi hati-hati banget kalau melewatai jalan utama. Takut pegang hapelah, atau kadang Vaya yg duduk di sebelah saya lupa pake seatbelt. Hmmm asli kemarin sempat pas lewat Kuningan, tiba2 jepret! Kaget dan saya menoleh ke Vaya, dia gak pake seatbelt!!!! Tapi sampai sekarang belum dapat surat tilang nih, kalau gak salah saat itu masih percobaan. Semoga yaaa… LOL.
Tapi jebakan polisi pasti ada. Intinya, kalau saya jadi polisi, saya pasti akan menunggu memang di satu tempat yang tidak terlihat pengendara. Kenapa. Karena kita harus lihat sendiri, kesadaran masyarakat itu seperti apa. Jangan dong pas ada polisi aja takut, hahaha…
Eniwei saya pernah kena dendan juga 500rb gara2 lewat jalur busway, padahal jalurnya itu pendek banget, dan memang kosong, tidak ada bus dan di sana lampu sedang hijau. Jadilah kena semua dari depan, motor, 1-2 mobil termasuk saya, dan yang di belakang saya. LOL.