Gubernur Dipilih Siapa?
Wacana pemilihan Gubernur oleh DPRD kembali berhembus belakangan ini. Sebenarnya, isu ini sudah saya dengar sejak beberapa bulan lalu. Entah kebetulan atau tidak, wacana ini beredar kembali di tengah kontroversi RUU Keistimewaan Yogyakarta yang masih meributkan sistem dan cara pemilihan Gubernur DIY.
Seperti biasa, pro kontra selalu terjadi di setiap ide atau usul yang berkembang di negara ini. Sebagian orang bilang, pemilihan oleh DPRD sama saja dengan merusak tatanan demokrasi negeri ini. Sementara tidak sedikit orang lainnya bilang, pemilihan oleh DPRD juga demokratis.
Lalu sebaiknya Gubernur dipilih siapa?
Saya pribadi tidak terlalu mempermasalahkan Gubernur dipilih oleh siapa. Menurut saya pribadi, kedua sistem pemilihan ini sama-sama demokratisnya karena sejatinya keduanya mengandung keterlibatan publik.
Pemilukada sudah jelas terlihat lebih demokratis karena rakyat bisa menentukan sendiri pilihannya. Tapi pemilihan oleh DPRD pun cukup demokratis karena (secara teori) rakyat tetap bisa menentukan pilihannya melalui wakilnya yang duduk di parlemen.
Walau faktanya mungkin ndak seperti itu.
Maka kemudian saya lebih mempertimbangkan untung ruginya bagi masyarakat luas. Apa saja?
Banyak yang bilang, pemilihan Gubernur oleh DPRD akan menghemat lebih banyak uang rakyat yang tersimpan di brankas negara. Tata cara dan prosedurnya juga mungkin jadi lebih sederhana dibandingkan pemilihan langsung oleh rakyat.
Tapi, cara ini akan lebih banyak “merugikan” masyarakat secara luas. Misalnya, produsen kaos seragam, bendera parpol, baliho dan spanduk kampanye akan berkurang pendapatannya karena pemilihan oleh DPRD rasanya tidak membutuhkan metode kampanye terbuka seperti pemilukada.
Begitu juga peserta kampanye bayaran, akan kehilangan “lapangan pekerjaan” musimannya itu.
Selain itu, money politic tidak akan menyasar masyarakat luas lagi. Bagi calon Gubernur yang oportunis dan koruptif cukup melakukan praktek money politic di dalam gedung dewan saja.
Kenikmatan masa kampanye lainnya yang selama ini dirasakan masyarakat, juga akan berkurang, seperti misalnya pengaspalan jalan atau perbaikan fasilitas umum lainnya, sumbangan dana bagi kelompok usaha kecil, pembangunan rumah ibadah, dsb.
Para calon Gubernur kotor cukup menjanjikan fasilitas tambahan bagi anggota dewan demi memuluskan kemenangannya.
Sungguh, tidak ada niat saya untuk berpikir negatif terhadap sistem pemilihan Gubernur oleh DPRD.
Tapi melihat kualitas sebagian besar anggota dewan di negeri ini, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada sebagian kecil anggota dewan yang bekerja dengan sungguh-sungguh, sulit rasanya mengharapkan adanya pemilihan Gubernur oleh DPRD berjalan secara jujur, adil, dan benar-benar mewakili kehendak dan keinginan rakyat.
Jadi saya yakin, bagi sebagian rakyat, pemilihan oleh DPRD bukanlah masalah demokratis atau tidak, tapi masalah untung rugi.
Malah mungkin mereka tidak peduli tentang demokrasi, yang penting mereka hidup sejahtera dan layak.

Comments closed
Comments
daripada pada pusing lebih baik dibuat keputusan hukum bersama dan jika ada kekhususan lebih diterakan dalam perundang-undangan yang sifatnya tetap. demokrasi negeri ini kebablasan cenderung ke liberal kayaknya mas, jadi pada sak penake dhewe.
Kalau yang saya dengar, pemerintah sekarang lagi merancang sebuah UU Pemilukada. Tapi ya itu dia, blum apa-apa sudah muncul kontroversi, pilgub dilaksanakan langsung oleh rakyat atau lewat DPRD saja.
Saya rasa anda benar, bahwa demokrasi kita sudah melenceng jauh dari demokrasi Pancasila. Tapi hal itu terjadi karena sistem demokrasi Pancasila yang sebenarnya baik, malah diselewengkan oleh para pemimpin dan wakil rakyat, sehingga rakyat ndak percaya lagi dengan sistem itu dan menuntut demokrasi yang lebih bebas dan terbuka. Jadinya seperti sekarang ini.
Begitu menurut saya.
setuju dengan kalimat paragraf terakhir mas..memang yang dilihat untung ruginya..
ni mas agung gak ikut sidang paripurna di diy.. ni saya mau kesana mas.. mumpung terbuka untuk umum
Lha, saya sudah bukan warga Jogja lagi jhe. Jadi ndak bisa dan ndak perlu datang. Hehe!
Bagusnya sih pemilihan gubernur dibarengi aja sama pemilu partai untuk dpr jadi hemat anggaran.
Lagian juga kalo pemilihan gubernur secara langsung yang menentukan calonnya adalah partai politik. Rakyat juga kurang kenal siapa itu gubernurnya dan gimana programnya.
Demokrasi itu kan sebeannrya cuma alat untuk mencapai tujuan rakyat yaitu kesejahteraan, tapi kalau demokrasi itu malah membuat rakyat sengsara sebaiknya dipikirkan lagi soal demokrasi ini.
Sedikit koreksi, setau saya calon gubernur dan wakilnya boleh dari luar parpol, yang disebut sebagai calon independen. Jadi ndak melulu dari parpol.
Terima kasih untuk komentarnya.
Kalau dilihat dari penggunaan budget daerah, saya lebih condong ke pemilihan via DPRD, bukankah itu juga hikmah sila ke-4? – CMIIW.
Anda betul! Menurut saya, sistem perwakilan adalah ciri demokrasi Pancasila (tercantum dalam sila ke-4 seperti yang anda bilang). Saya juga sepakat pemilihan lewat DPRD lebih hemat anggaran.
Tapi, ternyata sistem itu ndak dilaksanakan dengan jujur oleh para wakil rakyat, sehingga rakyat menuntut sistem pemilihan langsung oleh mereka. Apalagi kemudian, pemilihan langsung itu ternyata juga memberi banyak “keuntungan” seperti yang saya sebut di atas. Hehe!
Saya khawatir pembukaan lapangan kerja sementara itu nanti dananya mesti dikembalikan dengan membuat “gelap” status keuangan daerah :(.
Apakah pemilihan melalui perwakilan ndak membuat “gelap” anggaran daerah? Saya rasa sama saja kok, Mas Cahya. 🙂
Sebab “biaya” yang harus dikeluarkan oleh cagub untuk rakyat semasa kampanye tetap harus disediakan oleh cagub, tapi cuma ditujukan ke anggota dewan. Yang menikmati “keuntungan” kampanye cuma segelintir orang di dalam gadung parlemen, bukan sebagian masyarakat seperti yang terjadi sekarang.
Begitu mas maksud tulisan saya di atas. Hehe..
Ha ha…, sesama gelap juga susah. Kita seakan berada dalam transparasi hitam pekat.
Tapi beneran deh, saya ndak suka lihat foto pasangan kepala daerah nongol di mana-mana, ndak cukup 1 apa setiap sudut jalan, eh…, tiap 5 meter juga ada. Kalau orangnya yang dipilih saja merasa tidak percaya diri, saya jadi enggan memilihnya :D. (akhirnya mainan golput).
Haha! Saya rasa ndak ada seorang pun yang suka melihat foto/baliho/spanduk cagub+cawagub, kecuali si pembuat baliho dan pasangan calon itu sendiri. Hehe!
Yah, beginilah sekarang keadaannya mas. Tapi paling ndak, saya melihat ada sedikit “sisi positif” yang bisa dinikmati masyarakat selama masa kampanye terbuka berlangsung. Dan kampanye semacam itu rasanya cuma akan ada kalau sistem yang dipakai adalah pemilihan secara langsung.
Menurut saya sebenarnya dipilih langsung oleh rakyat atau melalui DPRD hasilnya sama saja. Tergantung apakah aturan mainnya benar-benar dijalankan dengan baik atau tidak.
Kalau money politic masih ada ya sama saja.
Kalau masyarakat belum sadar benar tentang politik dan masih mau dibayar ya sama saja.
Kalau dipilih oleh DPRD, tergantung dari DPRD-nya, apakah proses pemilu DPRD sudah berjalan baik, kalau DPRD nya hasil money politic nanti gubernur yang dipilih pun akan begitu.
Jadi intinya, semua cara sama saja. Tapi seandainya proses pemilihan sudah baik dan masyarakat sudah memiliki kesadaran yang tinggi pada politik, sepertinya gubernur cukup dipilih oleh DPRD saja.
Apalagi melihat sekarang sepertinya wewenang Gubernur sudah semakin berkurang digantikan oleh Bupati dan Walikota.
Anda betul. Memilih Gubernur di Indonesia, bukan masalah apakah sistemnya baik atau jelek, tapi apakah pelakunya (pemilih dan terpilih) sudah menjalankan fungsinya dengan benar atau blum.
Begitu kan, bli? 🙂
maunya apa pun caranya semua tetap berjalan damai tanpa ada adu otot 🙂
pemilukada memang mahal harganya, tapi saya pikir itu sepadan dengan perjuangan demokrasi yang sedang kita bangun. yang berkoar-koar agar pemilihan kepala daerah kembali diserahkan kepada DPRD itu hanyalah orang-orang berpikiran sempit dan mementingkan kepentingan pribadi saja.
sori jadi curcol. hehehe
Waduh, mereka yang pro pemilihan oleh DPRD cuma orang-orang yang berpikiran sempit ya mas? Hehe, tajam banget. 🙂
Saya sepakat dengan anda tentang biaya mahal.Tapi yang saya sayangkan, sejauh ini, biaya mahal itu ndak berbanding lurus dengan pendidikan dan pengetahuan politik bagi masyarakat awam. Terima kasih komentarnya, mas.
Orang2 yg paham politik bilang kita sedang dalam proses membangun demokrasi. Pemilihan langsung adalah bagian dari proses belajar itu.
Tapi saya pribadi sbg rakyat awam masih sebel dg pemilihan langsung. Gak ada bedanya dan pasti ada money politik! saya bilang ‘pasti’ dari persepsi pengalaman saya: karena semua pemilihan langsung yg saya alami; dari dprd, dpr, bupati, gubernur, presiden..semua pernah menawari saya uang atau setidaknya sembako……..
OK, kita masih terus belajar kan.. sampai kapan nih?
Sejauh ini, di negara kita, sistem pemilu apa pun blum bisa lepas dari money politic. Bahkan jika pemilihan dilakukan oleh DPRD pun, saya ndak yakin money politic ndak serta merta hilang dari proses pemilihan tersebut.
Menurut saya, hal ini dikarenakan oleh sistem pemilu kita yang bergantung banget dari peran parpol. Sementara di sisi lain, parpol blum bisa menjadi alat yang bisa mendidik masyarakat untuk berdemokrasi yang benar. Parpol cuma alat menuju kekuasaan, bukan sebagai alat pendidikan politik seperti yang ditentukan di dalam undang-undang.
Cuma waktu yang tau kapan kita semua akan semakin cerdas berpolitik, mas. 🙂
Kemarin malam di MetroTV (jika tidak salah) ini diperbincangkan. Kalau saya nilai di sana, yang ditekankan adalah efek negatif dari pemilu langsung yang justru tidak mendidik masyarakat tentang demokrasi.
Artinya tiap ada pemilu, berarti masyarakat berpikir akan ada uang dan hiburan. Tapi mungkin tidak mengerti bahwa calon-calonnya apakah akan memperjuangkan aspirasi mereka atau memahami apa rencana calonnya ketika jadi pemimpin nanti.
Mungkin secara garis besar, pemilu langsung adalah konsep yang kepleset dalam proses pencarian bentuk demokrasi yang sesuai di negeri ini. CMIIW.
Menurut saya, seperti yang saya tulis di atas, kedua sistem tujuannya baik. Keduanya memenuhi unsur demokrasi.
Tapi pelaksanaannya yang blum baik, apalagi benar. Pemilihan langsung atau pun pemilihan melalui DPRD seharusnya sama demokratisnya, karena (teorinya) kedua pemilihan itu dilakukan oleh rakyat.
Tapi, melihat kualitas parlemen kita (baik di pusat maupun di daerah) yang cenderung wakil parpol, bukan wakil rakyat, takutnya ntar Gubernur yang terpilih pun cuma Gubernur pilihan parpol, bukan pilihan rakyat.
Sekali lagi, bukan masalah caranya Mas Cahya. Tapi pelakunya (yang dipilih dan yang memilih) yang blum siap, kalau menurut saya. 🙂
Berarti kita ganti sistem monarki saja kalau demokrasi ndak siap?
Jangan monarki donk. Kedaulatan negara ini kan ada di tangan rakyat, bukan di tangan raja/ratu.
Bukan ndak siap Mas, tapi blum siap. Walaupun saya juga ndak tau, sampai kapan kita akan siap untuk cerdas berdemokrasi. Hihi, klise banget.
Kalau begitu komunis saja, hi hi… 😀
Habisnya ini demokrasi bikin gregetan….
Memangnya ada hubungannya antara komunis dengan demokrasi? Negara komunis pun tetap melakukan pemilihan umum kan Mas?
Saya rasa terlalu jauh kalau anda menganggap bobroknya demokrasi kita disebabkan oleh ideologi negara. Kalaupun ideologi RI adalah komunis, tapi calon pemimpin dan pemilihnya ndak cerdas berpolitik, demokrasinya pasti juga sama saja.
ya, saya juga sangat suka dengan paragraf terakhir… talak sekali
selaku masyarakat ada yg tak sy fahami ttg politik….’yg benar bisa salah, yg salah dg mudah jd benar’ 8)
Saya tidak setuju jika Gubernur dipilih oleh DPR. Bagaimanapun DPR itu penuh dengan berbagai kepentingan dan demi mengamankan kepentingan tsb, apapun bakal dilakukan utk memenangkan pilihan mereka meski harus menghianati rakyat yg telah memilih mereka sekalipun.
Demokrasi itu mahal sekali harga nya. bangsa mana yang paling berhasil menerapkan demokrasi, pasti akan habis banyak anggarannya…
Itu benar sekali.
Buat masyarakat yang penting bukan soal demokratis dan siapa pemimpinnya. Yang penting kan hidup tenang, layak, tidak ketakutan keluar rumah…
Saya mendukung kehendak warga Jogja untuk menuntut penetapan aja sebagai cara pemilihan gub dan wakilnya.
Itulah istimewanya Jogja.
Kalo pake pemilu, artinya butuh biaya lagi untuk pemilu. Menghamburkan uang lagi..
Kedua, musti bikin KPU baru. Repot… Bisa2 jadi sarang KKN tuh dalam pemilihan anggotanya…
Ketiga, apalah artinya pemilu yang “demokratis” kalo itu bukan keinginan rakyat?
Ikutilah apa kata rakyat, kalo semisal rakyat Jogja pengen penetapan aja (langsung sultan hamengkubuwono dan Pakualam), ya ikutilah. 😐
Waduh mas, sepertinya anda salah alamat deh. Tulisan saya sama sekali ndak berhubungan dengan kontroversi keistimewaan Jogja. Saya cuma mengulas wacana pemilihan Gubernur yang dilakukan oleh DPRD, bukan oleh rakyat melalui pemilukada, dari sudut pandang yang berbeda dari yang dibahas orang.
Lagipula, seperti yang mas bilang, inti masalah di Jogja adalah penetapan Gubernur oleh DPRD, bukan pemilihan Gubernur oleh DPRD seperti yang saya tulis.
Tapi terima kasih sudah menyampaikan pendapat tentang keistimewaan Jogja. Saya menghargainya. 🙂
Selalu akan sulit jika hasil akhirnya ditentukan oleh untung dan rugi, tetapi karena realitasnya seperti itu, mau tidak mau kita menerima kualitas terbaik dari yang terburuk.
Biarlah rakyat yang menentukan pilihannya sekaligus sebagai mendia pembelajaran berdemokrasi yang baik. Jika saat ini banyak terjadi kericuhan, karena moral dan prilaku demokrasinya belum cukup umur 🙁