Freeport Maunya Apa?
Pemerintah Indonesia bersitegang dengan PT. Freeport Indonesia belakangan ini. Bahkan Freeport mengancam akan menggugat Pemerintah ke arbitrase internasional. Apa latar belakangnya?
Kira-kira masalahnya seperti ini…
Freeport masuk ke Indonesia sudah sejak lama. Pemerintah rezim Soeharto sepakat mengadakan perjanjian dengan Freeport untuk menggarap proyek pertambangan di Papua.
Kontrak itu telah mengalami pembaruan, yang terakhir adalah tahun 1991 dengan masa berlaku sampai dengan 2021.
Tahun demi tahun berlalu, Pemerintahan berganti, regulasi pun berubah. Pemerintah mewajibkan semua perusahaan pertambangan untuk mengadakan pemurnian dalam rangka meningkatkan nilai jual dari produk tambang.
Artinya, hasil tambang yang diekspor bukan produk mentah yang berharga murah, tapi yang telah diolah di dalam negeri sehingga menambah nilai jualnya.
Perusahaan wajib membangun smelter untuk melakukan pemurnian.
Freeport menyanggupi untuk melakukan itu asalkan kontrak yang tadinya berakhir tahun 2021 diperpanjang sampai dengan 2041.
Pemerintah menolak.
Ultimatum dari Pemerintah adalah selama Freeport belum membangun smelter di Indonesia, maka Freeport tidak boleh menjual hasil tambangnya ke luar negeri.
Freeport bergeming.
Bahkan Pemerintah telah memperpanjang batas waktu pembangunan smelter yang awalnya paling lambat tahun 2014 menjadi 2017.
Sampai akhirnya terbitlah Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 yang mewajibkan seluruh perusahaan tambang, termasuk Freeport, untuk memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Freeport kesal karena merasa Pemerintah tidak menjamin kepastian hukum bagi mereka.
Freeport menuduh Pemerintah Indonesia secara sepihak mengubah kontrak yang masih berlaku sampai 2021 menjadi IUPK.
Padahal sebenarnya tidak demikian. Pemerintah memberi pilihan, apakah Freeport mau tetap berpegang pada kontrak atau mengubahnya menjadi IUPK.
Kalau ingin menjadi IUPK, Freeport dapat kembali mengekspor hasil tambangnya, karena peraturan terbaru membuka peluang untuk itu, sekalipun smelter belum didirikan.
Namun Freeport menolak IUPK karena salah satu alasannya adalah harus mematuhi sistem dan ketentuan perpajakan yang berlaku sekarang, yang dianggap tidak menguntungkan Freeport.
Kalau Freeport memilih tetap berpegang kepada kontrak sampai dengan 2021, Freeport telah melanggar kewajiban untuk mendirikan smelter sampai batas waktu yang ditentukan.
Lagi-lagi Freeport menolak kewajiban itu dengan alasan seperti yang sudah saya sampaikan di atas.
Jadi, begitulah kira-kira maunya Freeport.
